Seminggu setelah kepergianmu, aku
masih mencari bayangan dirimu di setiap sudut-sudut pertemuan kita. Berharap
bayangan itu mampu menjelma menjadi dirimu yang sesungguhnya. Aku menjadi lebih
sering memperhatikan bangku panjang yang sering kau duduki. Menggambar dirimu duduk
di sana bersandar ke dinding dengan mengangkat sebelah kaki dan tangan menjadi
tumpuan tubuhmu, di kepalaku. Dadaku menjadi sesak ketika langkah kakiku
berhenti pada tempat biasa aku menemukanmu. Aku memandang sekeliling, berusaha
sadar bahwa kini kau benar-benar jauh dari pandangan mataku. Kau telah pergi, jauh,
terbang bersama mimpi dan meninggalkan sisa-sisa kenangan untuk diriku.
Barangkali yang akan terjadi adalah aku tersiksa oleh rindu yang menyelimuti
kalbu.
“Mau bagaimana lagi? Ini sudah
waktunya aku pergi.” Katamu entah berusaha menenangkanku atau bahkan malah
membuatku menjadi semakin sedih ketika ku katakan “Sebentar lagi kau akan
pergi.”
Kau memang bukan milikku, kita
hanya dua insan kesepian yang dipertemukan untuk mewarnai kehidupan. Jelas tak
ada ikatan. Hanya sebatas teman bercerita yang senantiasa setia mendengar tanpa
penghakiman. Cerita kita sudah terlampau jauh hingga aku tak tahu bagian mana
yang harus ku potong untuk mempersingkat segalanya. Aku takkan bisa mengingat
semuanya dengan utuh, bisaku hanya mengenang atas apa-apa yang sudah tertulis
dalam setiap lembaran-lembaran itu. Dan kau akan selalu menjadi pemeran
utamanya.
Ya, aku sudah sampai pada
lembaran terakhir tentang cerita itu. Cerita yang ku rangkai selama dua tahun
belakangan ini. Seperti yang sudah ku katakan di awal, kau adalah pemeran utama
di dalamnya. Aku tak begitu jelas mengingat persis pertemuan pertama kita. Bagaimana
aku melihatmu, bagaimana kita berjabat tangan untuk pertama kalinya, bagaimana
kita berkenalan, atau bahkan bagaimana kau di mataku waktu itu. Aku tak mampu
mengingatnya. Tahu-tahu saja kita sudah menjadi dekat dan sering bercerita.
Barangkali waktu yang membuat itu semua bisa terjadi.
Kau ingat? Kau pernah bilang
“Dewasa bukan tentang usia, meski aku lebih belia darimu tapi aku berusaha
untuk bisa menjadi teman yang baik untuk orang-orang dewasa sepertimu.” Haha.
Kau terlihat lebih tua dari usiamu ketika mengatakan hal itu.
Jarak usia yang cukup jauh tak
membuat hubungan kita menjadi berbeda, sebab ternyata kita tetap berada pada
frekuensi yang sama. Bahkan ketika kita saling tatap, bibir juga turut
tersenyum mengikuti hal lucu yang ada di kepala kita masing-masing. Barangkali
itu menjadi satu yang akan ku rindu. Senyum sapa darimu di setiap hariku. Tak
bisa dipungkiri, kau berhasil menjadi pengatur suasana hatiku. Bagaimana tidak?
Kau adalah manusia yang selalu ku temui di dua tahun belakangan ini, setiap
harinya. Semua keluh kesah ku bagi denganmu. Meski hatiku tak selalu menerima
dengan baik, tapi kau adalah pendengar yang baik. Setelah ini mungkin juga aku
akan mencari sosok yang sepertimu, tapi kau tetap takkan terganti.
Lembaran-lembaran itu telah
terisi penuh. Saatnya aku memulai cerita baru dengan pemeran utama yang lain.
Kau akan tetap abadi di sana, di cerita hidupku sebelumnya. Begitupun aku dalam
ceritamu, juga tentu akan hilang. Berada dalam cerita hidupmu adalah syukur
yang selalu kuucap pada Tuhan. Setidaknya kita pernah di pertemukan walau menurutku
itu cukup terlambat. Harusnya kita hidup di urutan waktu yang sama. Tapi tak
apa, begini saja aku sudah sangat bahagia. Tak terbayangkan jika Tuhan
benar-benar mempertemukan kita di urutan waktu yang sama itu, entah bagaimana
lagi makna bahagia yang ku rasa.
Seseorang bertanya padaku ketika
melihatku sedih memikirkan hari dimana aku akan berpisah denganmu. Katanya, “Menurutmu,
mana yang lebih menyedihkan, perpisahan yang tiba-tiba atau yang sudah
direncanakan?”. Aku terdiam, kemudian ku jawab, “Mungkin perpisahan yang
tiba-tiba.”. Jawabnya, “Tidak, seharusnya perpisahan yang menyedihkan itu adalah
perpisahan yang direncanakan. Sebab kau tahu perpisahan itu akan terjadi tapi
kau tak bisa berbuat apa-apa. Kau tak bisa menahannya, kau hanya bisa
melaluinya entah dengan rasa yang semacam apa.” “Ah iya juga.” Fikirku waktu itu.
Benar, aku tak bisa menahan kepergianmu. Satu yang ku bisa hanya melepasmu
dengan lapang dada.
Selamat jalan, selamat merangkai
cerita baru dalam lembaran-lembaran kosong yang putih itu. Menutup cerita lama
bukan berarti harus melupakannya, sesekali boleh dibuka kembali untuk
bernostalgia dengan kenangan yang ada. Terbanglah jauh, meraih mimpi yang kau
harapkan bahkan sebelum bertemu denganku. Rasa sayangku takkan berkurang, biar
ku simpan rapi di satu bagian dalam hatiku. Terimakasih untuk segala rasa yang
kau semaikan di sela-sela pertemuan kita. Aku siap melanjutkan hari-hariku tanpamu.
Sampai jumpa. Aku akan selalu merindukanmu.
Yuni Choirun Nisa Siregar
Komentar
Posting Komentar