“Kenapa harus takut?” tanyamu.
“Takut, membayangkan masa depan di tangan orang-orang sepertimu.” jawabku dengan senyum pahit kemudian memalingkan wajah, tak berani menatap binar matamu.
“Aku bahkan tidak berfikir untuk menjadi beban khawatir dalam hidupmu. Jangan memberatkan dirimu karenaku atau orang-orang sepertiku.” nadamu terdengar tidak suka dengan apa yang baru saja ku utarakan.
Bukan itu saja, nyatanya aku juga takut kehilangan senyummu yang langka itu. Aku takut merindukan dirimu yang selalu antusias bercerita tentang orang-orang yang kau anggap jahat. Orang-orang yang begitu buruk di matamu, meski nyatanya tak seburuk itu. Lebih-lebih, aku takut kita takkan bertemu lagi setelah hari itu. Aku takut dengan segala isi kepalaku.
Kamu bukan yang pertama, dahulu ada dia yang bersemayam di dalam hatiku. Dia yang namanya kini sudah terpatri rapi di satu bagian di sana. Menjadi cerita yang akan ku kenang sampai nanti kembali ku ceritakan kepada orang-orang di masa depan. Tak bermaksud membandingkan, kamu tiba-tiba saja muncul. Manusia bumi yang bahkan aku tak berfikir akan menjadi dekat denganmu. Bedanya, aku ingat persis bagaimana senyummu saat pertama kali kita bertemu. Semoga selamanya melekat di kepalaku. Juga aroma tubuh yang mudah terdeteksi oleh indra pembauku.
“Kamu tak benar-benar tahu segala tentangku, pun aku juga begitu. Satu yang sama-sama kita tahu, kita bahagia pernah melewati hari-hari terakhir bersama di sini. Aku bersyukur akan hal itu.” Kamu seperti berniat menenangkan.
“Meski dengan waktu yang sesingkat ini?”
“Iya, betul. Walaupun singkat, padat, tapi sangat jelas. Hehe.” Aku tahu, kamu hanya ingin mencairkan suasana. Aku faham, barangkali kamu hanya ingin aku tidak memikirkan kemungkinan terburuk tentang dirimu, orang-orang sepertimu, atau mungkin kita.
“Seperti kata Peterpan, Tak Ada yang Abadi. Pertemuan kitapun begitu.”
“Tapi, aku berharap kamu seperti kata Blackout, Selalu Ada.” Balasku mulai sedikit tersenyum.
“Haha. Pada akhirnya, kita seperti kata Vidi, Tak Bisa Bersama!”
“Ah sudahlah! Kamu akan baik-baik saja. Kita akan menemukan bahagia masing-masing. Kamu dan aku hanya ditakdirkan untuk bertemu mengisi lembaran-lembaran kesepian satu sama lain, bukan untuk bersama.” Sambungmu kemudian.
Kata-kata terakhirmu membuatku berfikir, kamu benar. Meski begitu, lembaran-lembaran kesepian yang kamu isi adalah lembaran paling berkesan untukku. Aku tentu tak bisa mengubah keras kepalamu, mengontrol semangat juga emosi membara yang selalu terpancar dari dirimu. Semua itu, ternyata di luar kuasaku. Bisaku hanya terus mengingatkan hal baik yang kiranya akan kamu pertimbangkan ketika mengambil sebuah keputusan. Tak lupa senantiasa menyebut namamu di setiap sujud terakhirku. Hanya sebatas itu.
Tentangku, entah bagaimana di matamu. Satu hal yang harus kamu tahu, kamu turut menjadi manusia bumi yang akan ku pigurakan wajahnya lalu ku tempel di dinding kamarku. Mungkin juga kamu dan segala tentangmu, akan terpatri rapi di satu bagian hatiku yang lain. Boleh jadi di sebelah namanya yang telah lebih dulu, atau di tempat yang lebih indah. Terkhusus untukmu.
Terimakasih sudah menjadikanku sebagai pendengar yang baik. Senang menjadi kesukaan yang selalu kamu utarakan. ✨
Komentar
Posting Komentar