AKU HANYA ORANG KE SEKIAN YANG BERHAK, . . .

 

            Rasanya aku tak pantas untuk lebih bersedih dari mereka. Aku hanya orang ke sekian dari banyak orang yang berhak untuk menangisinya. Masih ada cinta mereka yang lebih besar, daripada cinta yang ku miliki untuk dirinya. Aku hanyalah orang yang jika ada ya syukur, tidak ada tak jadi masalah. Tapi aku tak bisa berbohong, tiap kali saat itu datang, ada bagian dari hatiku yang patah. Tiap kali saat itu datang, dadaku sesak. Tiap kali saat itu datang, mataku perih. Aku bertanya, “Ha? Apakah ini nyata? Aku sedang bermimpi, bukan?”. Berulang kali aku meyakinkan bahwa ini benar adanya, aku hanyalah orang ke sekian yang berhak untuk menangisinya. Terserah mereka di luar sana jika ingin mengatakan ini berlebihan. Tapi aku tak bisa berbohong, hatiku masih patah sampai kini.

            Tiap kali aku ke melintasi ruang-ruang bersamanya dahulu, bayangannya muncul. Suaranya bergema begitu jelas di telingaku. Tawanya, senyumnya, dan tingkah lakunya waktu itu. Semua yang pernah aku lalui bersamanya, muncul menari-nari dalam ingatanku. Dekat dan jelas. Dia masih berada di sampingku. Dia tidak benar-benar hilang.

            Aku malu jika harus terlihat menjadi sosok yang paling menyedihkan atas hilangnya dia. Sekali lagi, aku hanyalah orang ke sekian yang berhak untuk menangisinya. Tapi ini menyakitkan, aku tak bisa menyimpannya sendirian. Hatiku masih patah, pun hati orang-orang yang paling berhak untuk patah karenanya. Ada banyak hal yang belum sempat ku katakan padanya. Ada banyak hal yang belum sempat aku lakukan bersamanya. Ada banyak hal yang belum sempat aku persembahkan untuknya. Aku menyesal. Kata “andai” berkeliling mengitari kepalaku. Andai aku tahu kapan waktu berpisah itu tiba, tentu akan ku andalkan diriku untuknya. Andai aku tahu waktu kebersamaan itu singkat, tentu akan ku buat dia bahagia di sisa-sisa harinya. Sialnya, aku tak tahu. Aku tak benar-benar tahu.

            Kini duniaku berubah, ada yang hilang di hari-hariku. Aku butuh waktu untuk memulai kembali menata hati dan fikiran yang belakangan begitu kacau. Aku butuh waktu untuk menyusun rencana hidup ke depan. Meski aku banyalah orang ke sekian yang behak untuk melakukannya. Masih banyak dari mereka yang lebih berhak melakukan itu, dibanding aku. Kini, satu per satu peninggalannya dibagi kepada orang-orang terdekatnya, termasuk aku. Ada banyak alat masak yang diberi untukku, tapi untuk apa jika juru masakku tak ikut memasak bersamaku? Aku lebih membutuhkan dirinya dan resep masakan yang diturunkannya untukku. Meski ku tahu hal  itu sudah tak mungkin lagi.

            Sekarang yang tersisa adalah aku dan mereka yang  lebih berhak atas dirinya, yang masing-masing sedang mencari cara untuk kembali pulih dari luka. Entah hidup akan bagaimana nantinya, satu yang pasti dia sudah hilang dan tak akan pernah kembali. Biarlah dia pergi membawa segala baik dalam dirinya, meninggalkan rindu yang kian hari kian membuncah untuknya. Aku yakin, akan ada pelajaran hebat dari sini. Bukankah Tuhan tidak akan memberi ujian di luar kemampuan hamba-Nya? Artinya, Tuhan tentu tahu aku dan mereka mampu melewati ini, itu sebabnya Ia memberinya.

            Selamat tinggal.  Tunggu aku dan mereka di keabadian. Bermain-mainlah dahulu bersama orang-orang terdahulu. Kelak aku dan mereka akan menyusul, satu per satu. Tak ada yang bisa ku beri kecuali rapalan do’a. Kita pernah ada, meski kini hanya tinggal kenangan di dalam hati dan kepala. Aku tak sempat berkata cinta, tapi Tuhan tahu betapa aku bersyukur kita pernah berjumpa. 


Aku rindu.

 

Rantauprapat, 10. 10. 2021

 

-yun-

Komentar