“Sudah ku bilang dari awal, beliau banyak mainnya.”
“Kenapa begitu?” tanyaku pada Ian, sahabatku sekaligus kenalanmu di kantor.
“Ya, memang begitu. Lihat saja nanti.” katanya meyakinkan, seolah segala yang dikatakannya tentangmu adalah benar.
Aku melupakan petuah Ian ketika aku bersamamu. Hal yang tidak aku tahu, barangkali aku sudah terjerembab masuk ke dalam perangkapmu. Aku hanya menduga, belum memastikan kebenaran itu. Sejauh aku bersamamu, aku bahagia. Itu saja.
Kesukaan kita adalah bercerita hingga larut malam lewat telefon genggam. Kadang selesai jam 12 atau jam 1 pagi. Sampai aku harus berbisik ke arah ponselku agar teman sekamarku tidak terbangun karena ulah kita berdua. Entah bagaimana kau di sana, yang jelas kita melakukannya hampir setiap malam. Jikapun tidak, kita akan bertukar pesan hingga cerita kita tentang hari itu selesai. Aku dan kau berbagi cerita di setiap harinya.
Memang itu kesukaan kita berdua, tapi ada sesuatu kesukaanku tentangmu yang tak pernah aku ceritakan padamu. Sesuatu yang aku lakukan tapi kau tak tahu. Disini, akan ku tuliskan satu per satu.
Sesuatu yang kulakukan tapi kau tak tahu yang pertama, melihat “terakhir dilihat”-mu di setiap bangun pagiku. Tidak hanya di waktu itu, hampir setiap jam kulakukan. Kali terakhir adalah ketika aku ingin tidur, kupastikan apakah kau sudah tidur atau masih bercerita dengan orang lain hingga selarut itu.
Sesuatu yang kulakukan tapi kau tak tahu yang kedua adalah melihat “story”-mu di sosial media. Sangat penting bagiku melihat aktifitasmu di hari itu, setidaknya itu pertanda kau masih hidup dan bernafas dengan cukup. Sesekali ku balas atau ku beri komentar, dan disitulah cerita kita tentang hari itu bermula.
Sesuatu yang kulakukan tapi kau tak tahu yang ketiga, mendengar lagu kesukaanmu di setiap pagiku sebelum berangkat kerja. Bagiku itu menjadi sebuuah vitamin untuk aku memulai hari dengan penuh semangat. Setidaknya dengan mendengar lagu kesukaanmu, aku bisa merasakan kau juga sedang bernyanyi untukku. Dan itu kesukaanku, mendengar suaramu.
Sesuatu yang kulakukan tapi kau tak tahu yang keempat, menulis segala tentangmu setiap harinya. Mencipta puisi, cerita, dan sajak-sajak cintaku padamu. Kau abadi dalam tulisanku sampai nanti aku tak bisa menulis lagi. Kau hidup dalam segenap cerita yang ku karang, dan kau akan selalu menjadi tokoh utama di dalamnya.
Sesuatu yang kulakukan tapi kau tak tahu yang kelima, sepertinya terakhir. Aku tak pernah lupa untuk menyebut namamu dalam setiap do’aku pada Tuhan. Tak selalu ku pinta untuk kita dipersatukan, pernah juga aku meminta untuk dijauhkan jika kau bukan takdir baik untukku. Segala harap ku curahkan, segala keluh kesahku tentangmu ku rapal dalam do’aku. Di setiap sujudku, di sholatku, di sepertiga malamku.
Kemudian Tuhan menjawab satu persatu do’aku. Perkataan Ian semakin hari semakin ada benarnya. Perlahan kau dijauhkan dariku. Kita tidak pernah lagi bertukar cerita, tak pernah lagi saling mengomentari cerita di sosial media. Hingga ada satu nama yang ku curigai juga sama sepertiku, melakukan hal-hal yang sama sepertiku. Mendo’akanmu diam-diam.
Aku kalah, do’a kami berseteru di atas langit sana. Aku kalah, dia berhasil mendapatkanmu. Semesta lebih merestui Ia, sedang aku hanya direstui untuk menemanimu sejenak kemudian melupakanmu. Akhirnya, aku menemukan alsan untuk berhenti menggiring namamu dalam tiap do’aku. Alasan untuk berhenti merapal harap untuk hidup bersamamu. Alasan untuk aku menuliskan bait-bait puisi tentangmu. Alasan untuk aku melakukan sesuatu yang tak kau tahu, untukmu. Alasan itu adalah cara Tuhan menyadarkanku. Aku bukan untukmu. Lalu aku harus meyakini itu. Aku selesai sampai di sini. Aku berhenti. Segalanya tentangmu adalah cukup bagiku. Setidaknya hari kemarin adalah proses belajar untuk menjadi yang terbaik, meski ujiannya nanti bukan denganmu. Terimakasih karena sudah pernah mau bertemu denganku, barang sekali saja. Bahagialah dengan hidupmu.
“Sudah Ian, aku selesai. Kamu benar!” kataku lagi pada Ian di lain kesempatan.
“Ini bukan soal siapa yang benar siapa yang salah Rin. Gapapa, setidaknya sekarang kamu sudah tahu. Sekarang kamu jadi belajar. Memang kalau gak pernah merasakan langsung kita gak akan pernah percaya sama cerita orang. Sederhananya begitu.” jelas Ian padaku, tanpa memarahiku sedikitpun. Seharusnya dia bisa lebih marah atau setidaknya kesal karena dari awal dia sudah memberi lampu kuning padaku. Bodohnya aku tak pernah mempercayai kata-katanya. Ibaratnya, dia sudah memberi peringatan di depanku ada parit yang tak akan sanggup untuk ku langkahi. Tapi aku tak percaya, aku malah melangkahinya. Meskipun dengan sedikit melompat ditambah langkah yang besar, aku masih tak mampu. Akhirnya kakiku keseleo dan sebelahnya masuk ke dalam parit. Satu yang ku dapat adalah kaki yang memar tercampur dengan air parit yang kotor dan bau. Begitu.
27.7.'21
12.09 wib
-aku-
Komentar
Posting Komentar