Sebuah Cerita Pendek : Tentang Mimpi

Sebuah Cerita Pendek – Tentang Mimpi
Karya : Yuni Choirun Nisa Siregar


Hujan mengguyur bumi Allah di waktu tenggelamnya matahari. Tanah kuyup diselingi angin yang terus bertiup. Daun jatuh bersama petrikor yang menusuk tajam hidungku. Langit yang tadinya tampak jingga kini tertutupi awan hitam gelap nan pekat. Soreku tak lagi bersama senja di penghujung langit biru.

“Mari masuk, kau bisa masuk angin jika terus duduk di luar menatapi hujan.” Ajak Lia teman satu kamarku di kos putri milik Bu Sumi.

Aku mengangguk mengiyakan.

“Ada yang salah denganmu?” tanyanya ketika kami sudah berada di dalam kamar. Aku sedang merebahkan tubuhku di tempat tidur sementara Ia sedang memakan mi instan. Tentu itu adalah salah satu hal yang biasa dilakukan orang-orang ketika hujan, makan mi instan.

“Terlihat seperti itukah?” tanyaku balik tanpa berniat menjawab pertanyaannya.

“Ya, begitu yang kulihat seharian ini. Kau mendadak menjadi pendiam sejak bangun pagi tadi. Biasanya kau manusia paling heboh ketika kita bangun terlambat, aku yang beresemedi di kamar mandi, aku yang tidak sarapan, atau bahkan terlambat pergi ke kantor. Hari ini kau sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Ada apa?” Lia menjelaskan panjang lebar tentang pengamatannya hari ini tentangku.

“Ada yang mengusik isi kepalaku.” jawabku pasrah. Sepertinya memang aku harus menceritakan mimpiku tadi malam pada Lia. Sekalipun aku tahu, bahwa konon katanya famali menceritakan mimpi kepada orang lain. Tapi ini sungguh menganggu, aku tidak tahan untuk tidak menceritakannya padanya. 

“Apa?” Lia memperbaiki posisinya, tanda siap mendengarkan ceritaku. Sedangkan aku kini sudah terduduk dengan kaki bersila ditutupi bantal, di atas tempat tidur.

“Tadi malam aku bermimpi.” jawabku berusaha untuk membangunkan otakku agar bisa mengingat detail mimpiku tadi malam.

“Mimpi?” 

“Aku sedang mendo’akan seseorang.” 

“Itu mimpimu?” tanya Lia polos.

Langsung saja fokusku hilang, dia begitu polos bertanya hal semacam itu. Maksudku ya aku sedang mendo’akan seseorang akhir-akhir ini. Tapi dalam mimpiku, aku tidak benar-benar sedang berdo’a. Mimpiku bukan itu, tapi barangkali berkaitan dengan itu.

“Aku sedang mendo’akan seseorang di kehidupan nyata ini. Kataku pada Tuhan, jika Kau mengizinkan maka dekatkanlah, namun jika tidak maka jauhkanlah. Hilangkan ia dari hati dan otakku.”

“Lalu mimpimu?” tanya Lia terlihat tidak sabar.

“Sebelum tidur, aku membaca sebuah tulisan singkat dari seorang penulis. Pada intinya dia berkata, barangkali mimpi yang kita alami adalah tanda-tanda Tuhan yang terabaikan. Intinya begitu, tapi kalimatnya jauh berbeda. Lebih sempurna dari ini.”

“Di dalam mimpiku, aku merasa menjadi yang teristimewa untuk seseorang. Aku dibawanya pergi kemanapun ia pergi. Jika ia sedang bekerja, maka aku didudukkannya di sebuah kursi tunggu di dekat ruang kerjanya. Jika ia sedang ada kegiatan di luar kota, maka aku dibawanya untuk menemaninya. Kemanapun langkahnya pergi, aku selalu ada menemani. Kadang kala orang-orang sekitar menyebut kami serasi, tapi dia selalu menyangkal dengan alasan yang membuatku semakin sadar diri.”

“Satu ketika aku tak tahu apa yang terjadi, ia menangis ketika melihat Ibunya datang ke acara pesta pernikahan temannya. Jelas aku juga berada di sana. Ia turun dari panggung menghentikan alunan musik yang sedang mengiringinya bernyanyi, lalu mengahampiri Ibunya. Menangis dipelukan Ibunya. Ibunyapun begitu, mereka seperti sudah bertahun-tahun terpisah. Orang-orang disekitarnya ramai mengelilingi, aku terpisah dari genggamannya. Aku terjebak diantara kerumunan orang-orang yang turut memeluk ia dan Ibunya. Aku hilang.”

“Lalu kemana kau pergi?” tanya Lia semakin antusias.

“Tempat kini berganti, aku tidak lagi berada di acara pesta pernikahan temannya. Aku berada di sebuah lapangan yang disana hanya ada sekumpulan perempuan sedang mendirikan sholat. Semuanya jemaah perempuan, seperti sedang sholat hari raya. Memakai mukena putih bersih dengan wajah berseri-seri. Aku meyakini satu orang yang berada di sana, aku lalu menyapanya.

‘Kak, tahu kemana seseorang yang kucari?’ kataku. Lalu kusebut nama seseorang itu. 

Dia tersenyum, menatapku lekat. Menyentuh setiap inci wajahku. ‘Kamu gadis yang malang.’ katanya begitu.

Aku bingung tak menentu, aku tak tahu arti dari ucapannya. Sementara aku masih begitu, dia berteriak kencang. ‘Hey!’ kemudian menyebut nama seseorang yang kucari. ‘Ini dia. Mengapa kau meninggalkannya?’ sambungnya.”
“Siapa dia?” tanya Lia.
“Aku tak tahu, barangkali itu orang terdekatnya.” jawabku seraya menaikkan kedua bahuku.
“Lalu?” tanya Lia lagi.
“Aku melihat ke arah orang yang diteriakinya, kulihat seseorang yang kucari ada di sana. Tertawa lepas bersama teman-temannya. Seperti bergumam, menyebut-nyebut namaku dengan nada sedih yang dibuat-buat. Aku terus menatapnya berjalan menjauh dari pandangan mataku bersama air mata yang semakin membasahi pipiku, bersama teriakan orang di sebelahku yang terus memanggil namanya seolah ingin menyadarkannya untuk tidak pergi meninggalkanku.”

“Dia benar-benar pergi?” tanya Lia dengan mi instan yang sudah habis disantapnya sepanjang mendengarkan ceritaku.
“Dia pergi dengan kondisi yang begitu aneh, menurutku. Sebelumnya, dia sempat menghampiriku. Ia mengindahkan panggilan dari seseorang yang berada di sebelahku. Ada beberapa jenis barang yang diberikannya untukku. Sialnya, aku lupa apa saja barang itu.” jelasku lagi pada Lia.
“Kamu tidak berusaha mengejarnya?”
“Tidak. Aku bahkan pernah izin padanya untuk pergi keluar meninggalkan acara pesta pernikahan itu sebelum Ibunya datang. Aku pergi karena terlalu banyak perempuan yang juga mengelu-elukannya di sana.
‘Aku pergi keluar sebentar ya?’ bisikku di telinganya.
‘Jangan terlalu lama, ingat jalan pulang dan kembali padaku.’ begitu jawabnya.”
“Aku harus mengumpat mendengar cerita ini! Begitu aneh dan membingungkan, sampai mi instanku habis dan membuatku menjadi semakin bodoh begini.” kesal Lia.
“Aku juga begitu Li. Ini terlalu sulit untuk bisa kupecahkan.” Aku menarik nafasku panjang.
“Apa dia benar-benar ada di kehidupan nyatamu ini?” tanya Lia dengan hati-hati. Dia terlihat larut dalam perasaanku yang kacau saat ini. 
“Seperti yang sudah kukatakan tadi, dia benar-benar ada. Hanya saja aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Hanya sekali, dua tahun lalu. Itupun hanya dalam waktu sehari saja, setelahnya aku tak pernah benar-benar mendapat kabar darinya. Bisaku hanya memantaunya dari sosial media. Itu saja.” jelasku.
“Begini Na, jujur saja aku tak pernah lebih baik dalam merangkai kata-kata dibandingkan kamu. Aku tahu kamu lebih ahli dariku. Tapi disini, posisikan aku sebagai pendengar ceritamu yang tak pernah tahu bagaimana asal usulmu, agar kau bisa menganggapku sebagai penilai yang objektif. Terus terang saja, aku tak pernah tahu tentang seseorang yang sedang mati-matian kau do’akan itu. Kau pun tak pernah memberi tahunya kepadaku. Ini memang aneh, seperti yang kau katakan ini sulit untuk dipecahkan. Beberapa kali memang aku pernah membaca artikel tentang tafsir mimpi, tapi aku tak pernah mendapatkan cerita tentang mimpi yang seperti ini bahkan yang mirip dengan inipun tidak. Aku tahu, Tuhan selalu memberi petunjuk pada hamba-hambaNya. Hanya saja, hamba tidak tahu diri seperti kita ini seringkali mengabaikannya. Berdalih lupa, padahal memang tidak peka. Jika ujian sudah diberiNya, maka disitulah kita baru menyadari beberapa bagian di masa lalu yang menjadi kode keras dariNya. Namun kita sudah mengabaikan masa itu, jarang sekali kita memperlakukannya dengan baik. Mungkin hampir tidak pernah, setidaknya begitu menurutku.” jelas Lia. Anggapannya yang mengatakan bahwa setelah makan mi instan membuatnya semakin bodoh kurasa salah, dia semakin bijak berbicara. Dia bahkan menambahi luka di dalam hatiku yang sudah terkoyak karena mimpi burukku.
“Jika boleh aku berpendapat, maka akan ku katakan bahwa dia bukan milikmu. Tuhan menyayangmu, Ia ingin kau mengakhiri sesuatu yang bahkan memulainya saja kau belum. Ia tak ingin kau terlalu jauh terjatuh dalam mencintainya. Itu sebabnya seseorang dalam mimpimu tak pernah membenarkan bahwa kau adalah miliknya. Seseorang itu hanya memintamu untuk kembali padanya lalu kemudian kau ditinggalkannya. Setidaknya itu adalah pertanda, bahwa dia hanya ingin dicintai olehmu tanpa ia sendiri mencintaimu. Lagipula, cinta tak harus bersama kan? Kau bisa bahagia melihatnya pergi meski saat itu hatimu hancur dan matamu sembab karena menangis sepanjang hari. Tapi setelahnya, aku yakin kau bisa bangkit dan ikhlas melihatnya mencari kebahagiaannya sendiri. Meski tanpamu, dan tentu bukan denganmu.”
Tak terasa air mataku menetes, aku terharu mendengar respon Lia yang tak kusangka begitu dewasa menanggapi ceritaku. Ku kira dia hanya akan menjadi pendengar tanpa memberi pencerahan atas apa yang sedang berkecamuk dalam kepalaku, tapi kali ini Lia benar-benar membuka fikiranku.
“Sebenarnya kau bisa mengabaikan hal ini dengan menanggap mimpimu tadi malam hanyalah bunga tidur. Mungkin karena sebelum tidur kau membaca kalimat-kalimat puitis di sosial media. Mungkin karena sebelum tidur kau menonton film yang ceritanya begitu membingungkan seperti ini. Atau yang paling mungkin ya karena sebelum tidur kau memang memikirkan seseorang itu. Berharap ia masuk ke dalam mimpimu. Sekalinya ia masuk, kau dibuat stres olehnya. Hahaha.” 
Aku tersenyum mendengarkan penuturan Lia. Baru saja aku memujinya karena begitu dewasa menanggapi ceritaku, malah dia meledekku. Tak tahukah dia hatiku masih sangat kacau seperti saat meletusnya balon hijau? 
“Na, kita tak pernah tahu apa yang telah disiapkan Tuhan untuk kita di masa depan. Bahkan nanti setelah kita berbicara panjang seperti ini, kita tak pernah benar-benar tahu apa yang akan terjadi. Boleh jadi kita memang berencana akan ini dan akan itu, tapi semua bisa berubah sesuai dengan ketentuan yang diberikanNya. Kau boleh memikirkan ini, tapi jangan pernah terlalu larut di dalamnya. Waktu terus bergerak bahkan ketika kau sedang melamun di teras menatapi hujan yang turun seperti tadi. Hidup tetap berlanjut, jika itu memang yang terbaik maka akan selalu ada jalan yang diberikan Tuhan. Jangan risaukan masa yang akan datang, jangan pula sesalkan masa yang sudah lalu. Nikmati saja masa sekarang. Bukankah sekarang adalah dulu untuk nanti?” tanya Lia dengan kalimat terakhir yang kuharap akan terus melekat dalam kepalaku saat aku memikirkan tentang ketiga keadaan yang begitu membingungkan itu.
“Kamu benar Li. Barangkali itu pertanda dari Tuhan bahwa aku harus berhenti. Dia bukan untukku.”
“Ya, kurasa memang sebaiknya begitu. Sudahi saja semua ini. Perlahan kau akan lupa bahwa kau pernah bermimpi tentang betapa anehnya mimpi itu sendiri.”
Hujan hampir reda, hanya tinggal menyisakan gerimis yang tidak terlalu deras. Lia beranjak dari tempat duduknya, rupanya sedari tadi Ia belum minum. Aku ramal pasti kerongkongannya kering setelah makan mi instan dan berceramah panjang lebar.
“Sial!! Naaaaaaaa! Air galon habis. Bantu aku mengangkatnya.” teriaknya sedikit kencang untuk membangkitkanku dari tempat tidur.



Foto diambil sendiri, di depan teras rumah dengan menaiki kursi agar terlihat lebih tinggi.

Komentar