Sebuah Cerita Pendek : Sudah Dua Tahun



 

Sudah Dua Tahun

Karya : Yuni Choirun Nisa Siregar

 

            Sabtu, di malam Minggu sekitar pukul sembilan belum genap. Tepat hari ini, dua tahun yang lalu aku jatuh cinta padamu. Tidak terasa ya, sudah dua tahun aku tenggelam dengan rasaku sendiri. Sampai sekarang, aku belum pernah mengatakannya padamu. Bukannya tidak ingin, hanya aku cukup tahu diri. Tahu malu, karena kamu takkan pernah mau denganku. Kulihat riwayat perpacaranmu, hampir semua tampan dan mapan. Sementara aku, hanya pria pendek berperut buncit yang menginginkanmu menjadi ratuku. Padahal aku tahu, tak sedikitpun aku menyerupai seorang raja.

            Sudah dua tahun aku memendam rasaku untukmu. Aku adalah si bodoh yang cuma berani melintas di depan rumahmu, hampir setiap sore. Alibi jalan sore, lari sore, dan naik motor sore-sore. Sambil melihat kondisi rumahmu yang tak berubah sejak dua tahun lalu. Sejak pertama kali aku tahu rumahmu bercat putih di daerah jalan Mawar.

         “Makasih ya, lain kali mau lagi!” katamu sambil tersenyum. Jangan tanya hatiku bagaimana waktu itu, tentu aku lebih berbunga daripada kamu. Seharusnya.

            Sepertinya kamu terbiasa menaiki mobil mewah dengan AC yang cukup dingin, ku tebak kamu jarang bisa naik motor. Itu sebabnya kamu terlihat senang sekali ketika angin meniup helai rambutmu malam itu. Tuhan baik hati sekali, memperbolehkanku melihat senyum itu.

            Setelahnya, kamu selalu senang aku antar jemput dengan si Biru pesva bututku itu. Selama hampir empat bulan kita lalui itu bersama. Tapi tidak sepenuhnya, ada saat dimana aku mengetahui fakta bahwa kamu sudah memiliki raja di hatimu. Itu kudengar dari temanku, katanya “Bis, dia udah punya pacar.”. Aku diam, sedikit mencerna perkataannya.

            “Pacarnya ganteng, jauh lah dari kau!” lanjutnya sambil tertawa mengejekku.

            Iya, aku tahu aku tidak ada apa-apanya dengan pacarmu yang ganteng itu. Itu sebabnya aku bungkam dengan rasaku sendiri. Aku takut kamu menjadi trauma jika mengetahui ada seseorang yang sepertiku jatuh cinta kepadamu. Maka dari itu, perlahan aku mundur. Aku menolak mengantar-jemputmu, mencari alasan untuk bisa menghindar darimu. Rasanya sulit sekali, aku harus melepas tali-temali yang perlahan sudah ku ikat di genggamanku.

            “Kamu kenapa?” tanyamu memberhentikan si Biru di parkiran.

            “Kenapa?” tanyaku balik.

        “Ayuk, sambil jalan ceritanya!” kamu langsung menaiki si Biru tanpa aba-aba. Sebenarnya aku ingin sekali pulang denganmu waktu itu, tapi hati dan otakku sedang tidak sinkron.

            “Turun Bin, aku ada urusan.” Jawabku berusaha stabil.

            “Urusan apa?” tanyamu polos.

            “Kamu gak perlu tahu. Sekarang turun!” Aku melihatmu dengan wajah yang mulai sendu.            “Aku gak boleh ikut?” Kamu masih bersikeras ingin ikut denganku, sementara aku semakin tidak tega melihat wajah kecewamu.

            “Gak! Turun sekarang! Aku gak bisa antar jemput kamu lagi!” Kali ini nadaku semakin meninggi, namun aku tak ingin lagi melihat wajahmu. Kemudian kamu turun, lalu kutinggalkan.

            Hari itu merupakan hari patah hatiku setelah sekian lama tidak merasakan patah hati lagi. Dulu, aku patah hati karena perempuan yang ku suka meninggalkanku dengan alasan fokus Ujian Nasional. Klasik memang, namun itulah alasan paling mujarab yang digunakan anak sekolahan jika ingin putus dengan pacarnya. Sekarang, aku patah hati bahkan sebelum aku berhasil menyatakan cinta pada perempuan yang ku suka. Sudah dua tahun dari hari itu, aku belum juga berhasil menyatakannya padamu.

           Aku masih ingat, waktu itu kita tidak sengaja duduk di ruang piket berdua. Aku melihatmu sedang memainkan ponselmu dengan headset hitam menyangkut di kupingmu. Kau terlihat asyik mendengarkan lagu yang terputar lewat ponselmu, tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Kejadian itu, sebelum kamu suka dengan si Biru. Sebelum kamu ku bawa jalan-jalan dengan si Biru. Sebelum kamu suka diantar-jemput olehku. Itu kali pertama aku sadar bahwa aku sudah mencintaimu.

            “Kemana yang lain?” tanyamu ketika sadar bahwa di ruangan itu hanya tinggal kita berdua.

           Aku terkesiap, menormalkan jantungku dan meyakinkan diriku bahwa seorang bidadari sedang mengajakku bicara sekarang. “Ada yang ke kantin, ada yang masuk kelas.” jawab sedikit gugup.

            Kamu berdiri dan aku spontan bertanya, “Mau ke kantin juga?”.

            “Iya. Perutku sudah demo di dalam!” jawabmu sambil terkekeh.

            “Ayo!” Hari itu, kamu mengajakku ke kantin berdua. Meskipun kantin bukanlah tempat spesial untuk kita sebagai guru PPL, tapi karena kamu yang melakukan itu padaku rasanya menjadi lebih dari spesial.

            “Gak makan?” tanyamu melihatku hanya memesan minuman ke Ibu kantin.

            “Gak. Aku udah tadi.” Jawabku.

           “Gak baik nahan lapar, aku tahu kamu laparkan?” tanyamu yang kala itu kunilai sebagai manusia sok tahu.

            “Benar, aku udah kenyang. Nanti kalau aku makan lagi, perutku semakin maju pantang mundur.” Jawabku mencoba untuk mencairkan suasana. Tak kusangka kau tertawa mendengar penuturanku, ternyata membuatmu tertawa tidak sesulit yang kukira.

            “Buncit maksudnya?” Kau masih sambil tertawa mendengar penuturanku sebelumnya. Sementara aku tersenyum melihatmu tertawa lepas karena aku.

            Itulah awal kedekatan kita, masih kusimpan rapi dalam memori otakku. Kelak suatu saat nanti akan kuceritakan pada anak-anakku tentang satu perempuan yang berhasil membuatku mampu menyimpan rasa cinta yang begitu besar namun tak ternyatakan, meskipun pada akhirnya dia tahu bahwa perempuan itu mungkin saja bukanlah Ibunya. Setidaknya, itu adalah sebuah prestasi juga amanah dalam menyimpan sebuah rahasia. Rahasia cintaku padamu.

            Melihat aku semakin menjauh darimu, kamu pun akhirnya pasrah. Aku tak mendapati dirimu selalu menahanku di parkiran, malah yang kudapat kamu semakin sering diantar-jemput oleh laki-laki ganteng yang jauh lebih enak dipandang daripada aku. Seperti yang pernah dikatakan temanku sebelumnya.

            Aku kemudian berusaha untuk terlihat biasa saja di hadapanmu. Jelas sekali aku tahu bahwa ada yang berbeda diantara kita, kenyataannya adalah kita hanya belum terbiasa untuk terlihat seperti biasa saja. Hawa dingin selalu terasa ketika kita berada dalam jarak yang dekat, seperti ada kata dan rasa yang belum tersampaikan. Meskipun itu hanya menurutku saja, aku yakin pasti tidak ada hal penting yang ingin kau sampaikan padaku. Karena rasa ini hanya bertumpu padaku, mungkin.

            Sudah dua tahun sejak aku jatuh cinta sekaligus patah hati karenamu. Kamu masih tetap menjadi bayang-bayang semu di masa lalu untukku. Kamu masih tetap menjadi ratu di hatiku, walau nanti belum tentu. Kamu masih tetap dengan laki-laki ganteng yang jauh lebih enak dipandang daripada aku. Itu kudengar dari temanku. Belakangan aku tahu, ternyata laki-laki itu adalah teman sekolahnya. Sampai sekarang aku tak tahu temanku itu berkata jujur atau tidak. Sampai sekarang aku tak tahu bagaimana perasaanmu terhadapku waktu itu, di dua tahun lalu. Di empat bulan kebersamaan kita sewaktu menjalankan tugas sebagai mahasiswa bidang keguruan.

            Bina, itu namamu yang kubuat sendiri. Sebenarnya aku takut sekali kalau Ayah dan Ibumu tahu aku telah mengganti namamu. Sudah bagus-bagus dia kasih nama Sabrina, aku malah mengubahnya menjadi Bina. Alasannya adalah karena aku celat mengucapkan huruf R, daripada kupingmu sakit mendengarnya lebih baik aku menghindarinya. Sekalian, itu kulakukan agar terdengar serasi dengan Bista, namaku. Diawali dengan huruf B dan diakhir dengan huruf A.

            Baiklah Bina, terimakasih karena pernah menjadi teman yang kuanggap cukup dekat denganku. Aku janji, nanti namamu akan kusamarkan di depan anak-anakku. Aku takut juga kalau mereka mengadu ke Ibunya yang ternyata bukan kamu, sudah pasti Ibunya akan mencari tahu keberadaanmu. Aku masih ingin kamu aman, tenang saja. Sekarang, aku cuma mau kamu bahagia meski itu bukan denganku. Aku mau kamu terus tumbuh dengan adanya dirimu. Semoga kamu diizinkan naik motor oleh masa depanmu kelak dan angin meniup rambutmu lembut. Kalau masa depanmu itu aku, sudah pasti aku akan semakin rajin membawamu jalan-jalan dengan si Biru. Untung-untung kalau dia masih sehat walafiat di masa depan. Do’akan saja. Salam rindu dari aku untukmu. Aku ingin kau tahu, bahwa sebenarnya aku memang diam-diam menyukaimu. Dulu.

            Selamat tidur Bina, semoga malam ini aku berhasil masuk ke dalam mimpimu. Pertanda bahwa aku sedang merindukanmu. Sudah hampir jam sebelas, matikan paket datamu. Tidurlah menghadap kanan, itu sunah Rasul! Seperti katamu waktu itu padaku ketika aku pamit ingin tidur lebih dulu. 

 

 


 

Komentar