Puncak Tertinggi versi Si Aku


Malam ini, rasanya aku bingung harus menuliskan kata mulai dari mana. Jari-jemariku sedikit kaku, sudah lama aku tidak menarikannya di atas keyboard. Malam ini, rasanya ada banyak hal yang bersarang di kepalaku. Berawal dari sekelumit masalah yang rumit, hingga menggunung penuh tanpa tanggung. Kadang fikiran kotor datang,
“Bagaimana jika aku berhenti?”

“Apa rasanya mati?”

“Mengapa harus aku yang mengalami semua ini?”
begitu terus hingga tanpa sadar air mata bercucuran.

          Lalu ku renungi, ku kilasbalikkan segala masa yang sudah terlewati. Ku ingat-ingat sesuatu, seseorang, atau apapun yang mampu membuatku kembali tersenyum. Hingga aku benar-benar lupa sedang sekelumit masalah yang rumit itu. Tidak mudah, dan tentu tidak akan cepat. Berikutnya yang kudapat bukannya lupa, malah semakin merasa sedang berada di titik terendah selama menjalani hidup. Bukan ingin mendramatisir, kadang yang terlihat tersenyum bahagia di hadapan manusia lain adalah Ia yang sedang berada di dalam kekalutan, teriris ulu hatinya. Terkadang. 

            Mungkin aku salah satunya. Salah satu yang tidak konsisten suasana hatinya. Saat ini. Bisa saja tertawa, lalu tiba-tiba menangis, dan kemudian riang kembali. Bukannya tidak sadar, semua sarafku bekerja dengan sadar. Bahkan aku merasa ada yang lain dari diriku, yang aku sendiri sulit untuk memahaminya. Aku berbeda, semenjak hari itu.

            Hari itu, rasa bahagia terlalu menyelimuti diriku dengan nyaman. Membuatku terlena, menikmati setiap detik bahagia itu berlalu. Aku berada di puncak tertinggi menurut skala versiku. Aku tahu setelahnya akan ada jurang di kiri dan kananku, yang ketika aku ceroboh sedikit dalam bergerak, maka aku akan terjatuh ke dalam jurang itu. Baik yang kiri atau yang kanan. Akan sama saja. Benar, aku terlalu ceroboh. Aku bergerak leluasa, melompat sana-sini, berteriak sekencang mungkin. Sombongnya aku, tidak memperdulikan mereka yang berada di sampingku. Aku dan mereka sama-sama sedang berada di puncak itu. Bedanya, mereka tak sebahagia aku. Belakangan ku tahu, bagi mereka bukan itu puncak tertingginya. Masih ada puncak tertinggi yang harus di lalui.

            Sementara aku tidak, aku terlalu menikmati puncak itu. Kunikmati langit biru yang ku rasa sudah bisa ku raih. Namun bagi mereka itu masih jauh. Kunikmati gemintang yang sinarnya sudah sampai menusuk kornea mataku, sementara bagi mereka cahayanya masih redup. Mereka terus mendaki, berusaha mencapai puncak tertinggi versi mereka, dan aku masih tetap terlena dengan kenyamana puncak tertinggi yang selama ini aku idam-idamkan. Aku terus bersorak, melompat kegirangan, hingga kakiku terpeleset masuk ke dalam jurang. Tanganku sigap menggenggam erat ranting pohon yang bisa ku raih. Bergantung pada ranting itulah aku sekarang. Kembali, sementara mereka kini hampir sampai pada puncak tertinggi versi mereka.

            “Apakah kau tidak takut?” tanya seseorang padaku yang kebetulan melintas di jalan itu. Kulihat, dia sepertinya tidak berniat menolongku. Jelas, karena Ia hanya ingin melihat dan mengetahui kondisiku. Apakah akan mati jatuh ke dalam jurang sekarang, atau hingga tenagaku melemah nantinya. 

            “Tidak, aku tidak takut.” jawabku optimis.
 
            “Mengapa?” tanyanya kembali.

            “Jika memang aku ditakdirkan untuk mati secara tragis jatuh dan hilang ke dalam jurang ini, maka aku terima. Namun jika tidak, aku yakin Tuhan pasti akan membantuku bangkit dan kembali ke puncak tertinggi yang kuingini.”

            “Puncak tertinggi? Apakah kau bermimpi? Kini kau sendiri, mereka telah pergi.” orang itu bicara penuh penekanan atas kalimat itu. Benar, sepertinya Ia meragukan kemampuanku untuk kembali tegak berdiri.

            “Standar keberhasilanku untuk mencapai puncak itu bukanlah mereka yang telah lebih dulu melangkah, meski kemarin memulai dari titik yang sama. Standar itu ada pada diriku sendiri. Kau, mereka, tidak tahu bagaimana aku. Tidak tahu siapa aku. Aku menjadi bodoh amat melihat mereka sudah pergi, tak peduli sejauh mana mereka meninggalkan aku. Sekalipun nyawaku teregang disini dan hanya mengandalkan ranting-ranting yang sebentar lagi kurasa juga akan patah. Mereka akan tetap pergi, mereka akan tetap berlalu, mereka juga sama denganku, akan bersikap bodoh amat dengan nasibku.”
 
            “Ah, omong kosong! Kau terlalu idealis, jatuhnya malah seperti perfeksionis. Aku tahu kau enggan untuk melakukan hal yang sama dengan orang lain, yang asal sampai pada tujuan. Puncak tertinggi. Sementara kau, ingin mencapai puncak tertinggi versimu dengan jalan yang lurus, mulus, dan tidak terjal. Iyakan?” tanyanya memastikan apa yang kurasakan.

            “Memang seketika aku takut akan kondisiku yang mengkhawatirkan ini. Namun kembali lagi, aku berserah dengan keputusan Tuhan. Bagaimana Ia ingin aku, begitulah aku mengikuti inginnya.” tutupku tak ingin memperpanjang perdebatan dengan orang yang sama sekali tak ku kenal itu.

            “Mauku kau berusaha untuk bangkit dari posisi itu, aku tahu badanmu lemah sudah bertahan dalam waktu yang cukup lama seperti itu. Genggamlah apa yang dapat kau raih dari sana, hingga lambat laun kau akan berdiri lagi di sini kemudian berjalan menuju puncak tertinggi yang baru kau impikan setelah keterjatuhanmu menggantung di langit-langit jurang itu. Semoga mauku sama dengan mau Tuhan yang kau percayai.” aku terdiam mendengar penuturan terakhirnya. Dia bisa jadi makhluk Tuhan yang dikirimkan untuk membuatku bangkit dari posisi yang telah meniadakan asaku. Beberapa waktu.

            Malam ini, yang mampu kuceritakan hanyalah kata yang begitu saja terbesit dalam kepalaku entah tentang apa. Kuharap kau mampu menafsirkan makna cerita ini. Tidak ada penyesalan dalam kisahnya. Tidak ada rasa bersalah yang turut mewarnainya, pun menyalahkan orang-orang di sekitarnya. Ikhlas kini menjadi kuncinya, bahwa semua sudah ditakdirkan oleh-Nya. Aku hanya manusia, tak punya daya dan upaya. Segalanya ku rencanakan di dalam kepala, namun bagaimana jika tidak direstui semesta? Ingat saja, ini hanya dunia yang fana akan hal-hal yang mampu merusak rasa dan logika. 




Medan, 25 Juni 2019
11.37 PM

-aku-
           

Komentar