Mungkin kata "mengingat" lebih pantas kugunakan daripada "mengenang". Sebab "mengenang" identik dengan tenggang waktu yang sudah lama. Sementara ceritaku ini masih sedang hangat-hangatnya.
Aku baru saja menyusun berkas-berkas semester 7 ku. Mulai dari kertas coret-coret yang kubuat tengah malam di kos atau di posko. Kertas "jimat" kala aku mengajar esok harinya. Kertas pretest dan postest murid-murid yang sempat dikutuk oleh mereka sendiri. Kertas pelangi SKPS yang bersalahan. Kertas laporan-laporan PPL yang salah ketik meski hanya sedikit. Hingga pada kertas-kertas abstrak yang berisikan untaian kata tentang perasaanku. Astaga!
Aku tidak membuangnya, dalam waktu dekat. Sekalipun aku malu sendiri ketika membacanya, namun setidaknya aku pernah bahagia dalam menjalaninya. Nah, seperti yang sudah kukatakan di instagram,
"Akan selalu ada tokoh yang hidup dalam setiap tulisan. Tapi, tak semua tulisan dapat dibaca oleh tokoh yang bersangkutan." - YunChoi
Dan, kau hidup dalam tulisanku. Waktu itu. Mungkin di ujung sana kau tak akan pernah membacanya. Barang sekali saja, meski hanya tidak sengaja.
---
Medan, 7 September 2018
UPT SMP NEGERI 11 MEDAN
9.52 WIB
Akulah
penyuka diammu itu
Penyuka
suara yang teramat langka
Sadarkah?
Kau
membuat semesta tak bergeming
Membuat
semesta seolah tak berdetak
Sadarkah?
Sepatah
kata darimu mampu membuat hati bergejolak
Dan,
memang kau siapa?
***
Alangkah
lucunya hari ini
Sukmaku
berteriak
Tanpa
ada yang mendengar
Hatiku
resah
Tanpa
ada yang merasa
Dan,
aku mengapa?
***
Aku
hanyalah pendatang
Bersama
aliran deras anak sungai di tepian
Aku
hanyalah pejuang
Bersama
langkah kaki yang berkejaran
***
Hai
pemuda beralis menyatu
Bolehkah
aku rindu?
Dunia
ini begitu sempit
Ternyata
kita pernah berhimpit
Di
kediaman yang sama
Tanpa
tahu, tanpa kenal
***
Hai
pemuda dingin yang pernah kutahu
Jika
mau, aku ingin diperkenankan untukmu
Siapa
tahu, kita nanti bisa menyatu
---
Jika ku katakan aku lupa siapa manusia yang ku maksud, maka sepertinya itu tidak mungkin. Dan bohong sekali jika aku berkata demikian. Nyatanya aku masih ingat persis kepada siapa tulisan itu kutujukan. Mungkin kepadamu, yang tak sempat membacanya kemarin.
---
Medan, 22 September 2018
Tentang si kembar yang hambar
Ilusi
yang tercipta sudah kau hancurkan
Tahukah
kawan, kau sungguh menawan
Sayang,
aku bukan anak bangsawan
Sama
sepertimu
Harapku
sudah luntur
Sesaat
ketika kau mulai berkata jujur
Ingatkah?
Kau
pernah berjanji untuk bungkam
Tapi
kini kau tak bisa diam
Lupakah
kau sayang?
Tawaku
seketika meledak
Menggemparkan
sunyi sambil berteriak
Mencintai
imaji yang kau sampaikan
Lalu
kini, aku memilih tak bersuara
Membiarkan
engkau melirik dari sudut sana
Aku
ingin bertelepati
Kepadamu
yang tak bisa menepati janji
---
Medan, 23 Oktober 2018
Hujan
menjadi candu seiring langit kelabu
Bersama
dalam ruang yang sama masih begitu
Ditambah
dingin dan beku
Tak
tahukah dia aku rindu?
***
Jangan
datang jika harus pulang
Empunya
tak ingin kau hilang
Dia
sudah berharap kau masuk
Dan
menetap
***
Kau
tahu rasanya aku?
Yang
bertahan menunggu hujan
Dan
basah dalam kedinginan
Kau
tahu rasanya aku?
Yang tetap
diam dalam keheningan
Agar
kau terjaga dalam kelelapan
***
Senja
tak lagi sama sejak kemarin
Jingganya
berubah, membuatku hilang arah
“Jangan!
Jangan tinggalkan!" kataku
“Aku
sudah tak mampu bertahan!” begitu jawabnya
***
Dimanakah
dirinya itu?
Sudah
hilang selama seminggu
Tak
tahukah dia aku rindu?
***
Aku
ingin berpretensi bahagia
Tapi
dia malah acuh dan tak curiga
***
Kitalah
dua insan yang terus mengelabui rasa
Acuh,
dan tak merasa curiga
Katakan
saja jika ingin
Akupun
begitu, karena memang tak suka dingin
***
Hai!
Apa kabar?
Suaramu
sesekali tak lagi ku dengar
Aku
mulai rindu
Jika
benar ini rasa kehilangan,
Maka
maaf aku sungguh tak kuat menahan lagi
---
Aku menunjukkan ini hanya karena kasihan dengan aksara yang sudah kureka. Takut kalau-kalau nanti Ia tak ingin menemaniku lagi. Bukankah setiap tulisan itu ditulis untuk dibaca? Tepatnya untuk kau baca, tokoh yang kucipta. Walau kau tak sengaja. :)
Medan, 25 Oktober 2018
Dua
minggu setelah hujan itu
Senyumnya
tak pernah tergurat lagi
Kepadaku
. . .
Akulah
yang terabaikan
Bertemankan
canggung seraya bingung
Apakah
aku sedang linglung?
Matanya
melirik, untung kakinya tidak ikut tersandung
Bertemu
dengan retinaku malah membuatku semakin canggung
Hey!
Aku
rindu
Sudah
abaikan saja rasaku
Jangan
begitu, aku tak suka beku
Diammu
membuatku menggigil
Padahal
dalam hati aku berteriak memanggil
Hey!
Coba
dengarlah aku
Kamu
itu semestaku
---
Medan, 30 Oktober 2018
Ini
tentang terbiasa dan hilang
Menyimpan
asa yang terkenang
Mungkin
semua butuh ruang
Dalam
hati tetap ingin berjuang
***
Elegi
esok pagi
Mengukung
harap temu lagi
Membiarkan
hari berjalan dengan pasti
Tak
bisakan dia menghargai?
---
Medan, 19 November 2018
Selagi
kita berada dalam ruang yang sama
Tak
bisakah kau manfaatkan sejenak?
Aku
takut rindu
***
Kepadamu
yang dulu pernah menghibur,
Terimakasih
. . .
***
Jarak
adalah paham tentang diam
Jika
kau terlalu jauh, maka akupun akan berlalu
Jika
kau betah, mungkin aku akan resah
***
Jangan
masuk jika hanya untuk singgah
Cukup
sampai di teras, agar kepalaku tetap keras
***
Hanya
sebuah lirik dari kejauhan
Aku
mampu merasa bahagia
Dengan
senyummu di ujung sana
---
Medan, 1 Desember 2018
Selalu
kukatakan ini hari terakhir
Agar
kulihat apakah pilumu masih mengalir
Namun,
aku tetap menampakkan wajah
Membuat
kau bertanya, “Mengapa kau belum berpindah?”
Hingga
kala kau lupa berhenti
Aku
sudah tiada lagi,
Dan
benar-benar pergi
---
Sudah segitu saja. Aku hanya tidak ingin terlalu larut dengan segala yang sudah terlewat. Semoga kau dan aku bisa sampai pada perjumpaan yang tak terduga. Sekalipun hanya sebatas berpapasan, dalam ruang yang sama. Kuharap, bahagia selalu turut denganmu. Terimakasih sudah membersamaiku selama tiga bulan terakhir. Ada sama dalam kita, dan banyak "beda" yang (harusnya) tidak pernah menjadi masalah dalam pertemuan, juga pertemanan kita. Ingat saja, kau punya tempat untuk tinggal dalam palung hatiku. Jika mau, masuklah. Tempat itu selalu tersedia untukmu. Semoga Tuhan selalu menyayangmu. Dan akupun begitu.
Medan, 18 Desember 2018
4.04 PM
aku,
yang selalu memikirkanmu
Yuni Choirun Nisa Siregar
Komentar
Posting Komentar