Tiga Hari di November


“Perihal kehilangan, aku sudah terbiasa. Namun jika kau paksa mengingat kenangan, maka aku takkan bisa. Untuk tidak meneteskan air mata.” – YunChoi

Mungkin bisa, tapi akan membuat hatiku patah sejadi-jadinya. Terlebih kenangan pahit yang mematikan sepercik rasa membara. Kau tahu, ini tentang terbiasa dan hilang. Ketika sudah terbiasa bersama, dan kini tiba-tiba menghilang. Bukan lagi kini, tapi sejak bertahun lamanya. 

Aku sering mendongak dahulu. Menengadah, menantang awan. Berharap Ia memberi jawaban, atas segala pertanyaan. Aku sering merasa kerdil dahulu. Ketika mendapati aku tak sama dengan segerombolan manusia lain di luar sana. Ketika aku merasa berbeda. Ketika aku merasa semesta tak pernah berpihak. Dan ketika aku sadar, bahwa mereka ada sementara aku tidak.

Kuharap kau bisa menerka ke arah mana pembicaraan kita. Bahwa aku, masih seperti dahulu yang merasa berbeda dengan segerombolan manusia di luar sana. Manusia yang berada, yang bahagia kasat mata, dan tersenyum lirih ketika ditanya. 

Hal yang paling menyakitkan ketika mendongak ke atas adalah ketika melihat mereka lebih beruntung dari diri ini. Sakit, cukup sakit, dan memang sakit. Itulah sebabnya, sesekali aku mencoba untuk menunduk kebawah. Meratapi mereka yang lain, yang konon katanya tidak lebih beruntung dibanding diri ini. Haruskah aku bersyukur sejenak? Iya, harus. Sekalipun sebelah sayapku telah patah di masa lalu, setidaknya sayapku yang satunya kini masih ada dan utuh. Sekalipun hariku hampa tanpa orang-orang di masa lalu, setidaknya kenangannya masih ada dan terjaga selalu.  Aku tak pernah terbayang jikalau aku berada di posisi yang lebih buruk dari ini. Jatuh, terjerembab masuk ke dalam lubang yang tak berpenghuni. Tiada penolong dan uluran tangan dari manusia yang lewat. Aku tak bisa membayangkan, jikalau aku harus bangkit dan menunjukkan diri ke permukaan. Seorang diri, tanpa satu manusiapun yang berani menggenggam jari-jemariku. Aku tak bisa. Aku tak kuasa. Meski hanya untuk membayangkannya.

Bersama rintik hujan malam ini, kutitipkan sedu-sedan ku kepada manusia-manusia yang sudah hilang. Kepada patahan sayapku yang sudah hilang 15 tahun silam. Aku kini terbiasa, meski jika dikenang masih terasa air mata berlinang. Selamat, aku kembali mengenang 7 November sebagai hadirmu di bumi untuk ke 58 kalinya. Selamat, aku kembali mengenang 10 November sebagai Hari Pahlawan yang ketika kecilku selalu diwarnai dengan merdumu menyanyikan lagu yang kukira kau karang sendiri.

Sappulu November taun opat pulu lima
Tarjadi paporangan di kota Surabaya
Balanda Inggiris, songoni tantara Gurka
Mambaen hagogoan patundukkon Indonesia

Juga selamat, untuk 12 November yang setiap tahunnya diperingati sebagai harimu dan hari orang-orang yang setara denganmu. Hari Ayah, Bapak, Papa, Abi, Buya, Yanda, Baba, Papi, Pipi, Daddy, dan apapun namanya. 

“Bukan lagi temu yang menjadi pengobat rindu.
Tapi lantunan ayat syahdu, yang jika terkirim akan membuat haru dan semakin sedu.
Hingga rinduku sampai sudah padamu.”  - YunChoi


Medan, 12 November 2018
-yang rindu Papa-



Yunicak


Hasil gambar untuk flower, are your father is gay?
Cause u never know the reason why I choose a flower for his birthday or for father's day!

Komentar