“Perihal kehilangan, aku sudah
terbiasa. Namun jika kau paksa mengingat kenangan, maka aku takkan bisa. Untuk
tidak meneteskan air mata.” – YunChoi
Mungkin
bisa, tapi akan membuat hatiku patah sejadi-jadinya. Terlebih kenangan pahit
yang mematikan sepercik rasa membara. Kau tahu, ini tentang terbiasa dan
hilang. Ketika sudah terbiasa bersama, dan kini tiba-tiba menghilang. Bukan
lagi kini, tapi sejak bertahun lamanya.
Aku
sering mendongak dahulu. Menengadah, menantang awan. Berharap Ia memberi
jawaban, atas segala pertanyaan. Aku sering merasa kerdil dahulu. Ketika
mendapati aku tak sama dengan segerombolan manusia lain di luar sana. Ketika
aku merasa berbeda. Ketika aku merasa semesta tak pernah berpihak. Dan ketika
aku sadar, bahwa mereka ada sementara aku tidak.
Kuharap
kau bisa menerka ke arah mana pembicaraan kita. Bahwa aku, masih seperti dahulu
yang merasa berbeda dengan segerombolan manusia di luar sana. Manusia yang
berada, yang bahagia kasat mata, dan tersenyum lirih ketika ditanya.
Hal
yang paling menyakitkan ketika mendongak ke atas adalah ketika melihat mereka
lebih beruntung dari diri ini. Sakit, cukup sakit, dan memang sakit. Itulah
sebabnya, sesekali aku mencoba untuk menunduk kebawah. Meratapi mereka yang
lain, yang konon katanya tidak lebih beruntung dibanding diri ini. Haruskah aku
bersyukur sejenak? Iya, harus. Sekalipun sebelah sayapku telah patah di masa
lalu, setidaknya sayapku yang satunya kini masih ada dan utuh. Sekalipun hariku
hampa tanpa orang-orang di masa lalu, setidaknya kenangannya masih ada dan
terjaga selalu. Aku tak pernah terbayang
jikalau aku berada di posisi yang lebih buruk dari ini. Jatuh, terjerembab
masuk ke dalam lubang yang tak berpenghuni. Tiada penolong dan uluran tangan
dari manusia yang lewat. Aku tak bisa membayangkan, jikalau aku harus bangkit
dan menunjukkan diri ke permukaan. Seorang diri, tanpa satu manusiapun yang
berani menggenggam jari-jemariku. Aku tak bisa. Aku tak kuasa. Meski hanya
untuk membayangkannya.
Bersama
rintik hujan malam ini, kutitipkan sedu-sedan ku kepada manusia-manusia yang
sudah hilang. Kepada patahan sayapku yang sudah hilang 15 tahun silam. Aku kini
terbiasa, meski jika dikenang masih terasa air mata berlinang. Selamat, aku kembali
mengenang 7 November sebagai hadirmu di bumi untuk ke 58 kalinya. Selamat, aku
kembali mengenang 10 November sebagai Hari Pahlawan yang ketika kecilku selalu
diwarnai dengan merdumu menyanyikan lagu yang kukira kau karang sendiri.
Sappulu
November taun opat pulu lima
Tarjadi
paporangan di kota Surabaya
Balanda
Inggiris, songoni tantara Gurka
Mambaen hagogoan patundukkon Indonesia
Juga
selamat, untuk 12 November yang setiap tahunnya diperingati sebagai harimu dan
hari orang-orang yang setara denganmu. Hari Ayah, Bapak, Papa, Abi, Buya,
Yanda, Baba, Papi, Pipi, Daddy, dan apapun namanya.
“Bukan lagi temu yang menjadi pengobat
rindu.
Tapi lantunan ayat syahdu, yang jika
terkirim akan membuat haru dan semakin sedu.
Hingga rinduku sampai sudah padamu.” - YunChoi
Medan, 12 November 2018
-yang rindu Papa-
Yunicak
![]() |
Cause u never know the reason why I choose a flower for his birthday or for father's day! |
Komentar
Posting Komentar