“Hujan!”
kataku memanggil namanya sambil kubukakan telapak tanganku merasakan air hujan
yang mulai ramai berjatuhan.
Dia
yang berdiri di sampingku diam, tak menunjukkan tanda-tanda ingin membuka suara.
"Apa kau sedang bersedih?" tanyaku lagi.
Dia masih diam, sepertinya memang tidak berniat menjawab pertanyaanku.
“Apa
kau sama seperti manusia rubah, yang menjadikan hujan sebagai tanda kesedihan?”
kataku lagi.
Kali ini dia mulai bersuara, “Kadang begitu, diamku bukan lagi menjadikan duniamu hampa. Lebih dari itu, dunia kita ini turut berduka.” jelasnya.
“Jangan
terlalu sering, aku tak bisa terus-terusan membelikan cokelat untuk memperbaiki
suasana hatimu yang sedang kacau.” jawabku lagi.
“Yasudah, kalau begitu biarkan saja setiap hari hujan.”
“Jangan
juga, aku tak ingin basah karena lupa membawa payung.”
“Lalu
maumu apa?”
Sekarang,
giliranku yang diam. Bahkan akupun sebenarnya bingung mauku apa darinya.
“Kau
sendiri tak tahu apa yang kau inginkan dariku. Lalu mengapa kau banyak menuntut
padaku?” tanyanya sekilas melirik ke arahku.
“Aku
bukan siapa-siapa bagimu. Jangan bersikap seolah kau penting bagiku. Kita baru
berkenalan kemarin sore. Sekadar kenal, bukan berarti teman.”
Perkataannya
begitu dalam, tapi aku cukup kuat untuk menghempasnya sedalam-dalam.
“Aku
mengerti, mungkin aku terlalu akrab untuk kita yang terlanjur asing.”
![]() |
Medan, 11 November 2018
-korban dari hujan dan sedihnya.-
Yuni Choirun Nisa Siregar
Komentar
Posting Komentar