17an dan Lebaran


“Ada satu cerita, besok kita hari raya!”

            Kalimat itu biasa terdengar ditelinga ketika malam hari raya tiba. Tujuannya semata-mata hanya untuk menghibur kami para anggota dari keluarga Ibu. Siapa yang mengucapkan? Itu cerita lama, waktu aku masih kecil-kecilnya, diucapkan oleh “Tulang” sebutan untuk adik lelaki Ibu.

            Hari ini kita hari raya, selamat hari raya Idul Adha ya! Ingat, yang dikorbankan itu sapinya, bukan perasaannya. Hahah, apasih? -_- 

            Habis kemarin 17’an, lebaran. Habis diperjuangkan, eh malah dikorbankan. Hihi. Krikkkkkkkk…..

            Baiklah, aku ingin sedikit bercerita tentang 17’an dan lebaranku kali ini. “Lebaran” disini merujuk pada Hari Raya Idul Adha yaa, bukan Idul Fitri kemarin. Rasanya semakin hari aku semakin tua, haha. Kenapa? Karena di dua hari itu, aku melihat adik-adik unyu di lingkungan perumahan sudah semakin tumbuh dan berkembang. Sangat jelas dirasa waktu acara panjat pinang kemarin, dimana yang kuingat dulu anak-anak yang berjuang mendapatkan secarik kertas bertuliskan nominal uang itu adalah angkatan abang-abangku yang kini hanya duduk tenang dan mungkin mengenang masa lalu. Dimana anak-anak yang berjuang sekarang itu, masih kecil, SD atau mungkin belum sekolah. Ah betapa waktu cepat sekali berlalu. Belum lagi mengingat dua abang beradik itu. Seorang abang yang dulu tak pernah absen dari lumuran oli, dan seorang adiknya yang sekarang berhasil mencapai ujung tiang sambil mengayunkan bendera kecil. Posisi sang abang telah tergantikan oleh adiknya sendiri. 
Anak-anak yang sudah besar kini

Si adik kecil dahulu itu

            Ingin terharu, tapi lucu. Rasanya memang begitu campur aduk. Kembali, memang sudah masanya begitu. Waktu terus berputar tanpa Ia bisa menahan lajunya sedikitpun. Kulihat anak-anak kecil yang usianya jauh dibawahku, kini sudah mulai remaja bahkan juga terlihat dewasa. Dengan itulah, otakku berusaha memutar kembali kejadian yang sudah lewat. Dia siapa, namanya siapa, kelas berapa, rumahnya yang mana, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terus bergelut dalam pikiran. 

            Satu lagi, bertemu teman lama. Ah, ini sangat menyesakkan. Aku sadar kini, bahwa semakin besar, semakin dewasa aku dan teman-teman masa kecilku, maka semakin sulit pula kami untuk berkomunikasi. Yah, seperti awkward begitulah. Jangankan saling sapa, saling senyumpun tidak. Jangankan saling senyum, hemm saling lirikpun sulit. Sial! Bukan sombong, hanya memang begitu rasanya. Aneh. Aku tak tahu apa yang dirasakannya disana, tapi jika kau bertanya apa yang kurasakan, rasanya aku ingin berteriak tepat di hadapan wajahnya, sambil berkata “HOY! MASIH INGAT AKU TIDAK? INI AKU YUYUN, YANG . . . . .” bla bla bla. Sampai ku selesai meyebutkan segala kenangan masa kecil yang kami pernah lalui bersama.  Dan karena pertemuan itu, aku sampai memimpikannya dua hari berturut-turut. Sial sekali bukan?

            Sekali lagi, selamat hari raya Idul Adha untuk kita sekalian. Sudah kenyang makan dagingkan? Heheh….

            Ini kali pertama aku, dan seluruh masyarakat di lingkungan perumahanku melaksanakan shalat Idul Adha di lapangan kebanggan kami bersama itu. Setelah lomba 17’an dilaksanakan disana, kini shalat Id pun sama disana. Pagi tadi, aku bangun dengan perasaan yang teramat berat. Aku bangun lebih cepat dari biasanya, yaa biasanya lama dan sangat lama. Mengapa? Karena hari-hariku penuh libur dan bisa bangun siangan. Hahaha. 

            Aku bangun ketika suara yang tak asing ditelingaku mulai berkumandang, mengimami shalat subuh, dan berdo’a. Disitulah mataku terbuka, sambil ku panggil Ibu dan menangis. Kebalikannya, ingin rasanya melucu tapi ini terharu.

            “Entah apa Wak Malik ini lahh. . . “ begitu kataku sambil menangis tersedu. Oh iya, ‘Wak Malik’ adalah seorang alim ulama setempat komplek perumahan. Kata Ibu, dia sudah pensiun bekerja di kantor Departemen Agama. 

            Si Ibu malah datang, kemudian menggodaku. 

            “Cieee, hari raya. Sedih dia, rindu sama Kak Linda, gak hari raya sama Bang Andi.” kata Ibuku menimpali. 

            Hem, setelah kubuka mataku, ternyata Ibu juga tersedu. Jadilah kami menangis tersedu-sedu. Hiks….

            Aku menangis bukan semata-mata rindu, atau terharu dengan suara dan nada ‘Wak Malik’ yang teramat merdu. Aku menangis, benar-benar karena takut. Takut menghadapi masa depan, dan sedih mengenang masa lalu. Akankah tahun depan begini lagi hari rayaku? Sudah dimanakah aku itu? Atau intinya, masih hidupkah aku? Wallahu a’lam! Dan hanya Allah lah yang Maha Tahu. 

            Shalat dimulai tepat pukul 7.15 WIB, begitu kata panitia pelaksanaan. Dan kau tahu? Jam ditanganku masih menunjukkan pukul 6.35 WIB, dan kami sudah sampai di lapangan samping Mesjid. Lokasinya sungguh tidak jauh dari rumah, hanya melesat sedikit, sampai. Dan masihkah kau ingin tahu? Tidak ada manusia berjenis kelamin perempuan disana, yang ada hanya beberapa bapak-bapak panitia yang memang sedang berjaga. Bahkan satu dari bapak-bapak itu masih mengenakan kaus oblong, celana panjang, sama sekali tidak mencerminkan ingin melaksanakan shalat Id. Hahah. Aku hanya terkekeh melihat lucunya kondisi itu.

            Hampir 7.15 WIB, mataku tak pernah silap mencari satu nama. Aku tak bisa melewatkannya. Hey, hey, siapa dia? Dia manusia, yang dulu pernah menjadi temanku. Tak usah kusebut, nanti kau tahu. Dan aku malu. Dia sudah besar sekarang, terlihat gagah, dan dewasa. Asegedew! Hahah. Dulu, dia adalah anak kecil yang malas sekolah. Anak kecil hitam manis, yang senyumnya juga sangat manis. Anak kecil yang sering permisi pulang duluan sebelum waktu pulang tiba. Anak kecil yang aku dan temanku selalu modus untuk mengantar tas kerumahnya kala dia sudah pulang. Anak kecil yang jika aku tak salah mengingat tas ranselnya bergambar Popaye berwarna orange. Anak kecil yang sama diundangnya denganku, jika Hari Asyura tiba. Haha. Anak kecil yang memusuhiku hanya karena kesalahpahaman rasa diantara dua anak kecil seperti kami. Ah, sudahlah. Anak kecil itu dulu datang ke pesta ulangtahunku, di 2007. Berbaju kuning, kunyit busuk. Ah, anak kecil itu! 

            Sesaat sebelum shalat dimulai, anak kecil yang dulu itu melintas dihadapanku. Astaga! Mungkin wajahku sudah seperti di film Tom and Jerry  itu, dimana ada kucing hitam yang jatuh cinta pada kucing putih nan seksi. Kemudian dia melongo, dan matanya penuh dengan lope-lope berwarna merah hati. Ups! Tidak, aku tidak sampai begitu. Ketika dia melintas, aku reflex mengalihkan pandangan sekaligus memalingkan wajahku. Bukan apa-apa, pasalnya aku takut tercyduck. Hahaha. :D


Suasana Shalat Idul Adha -ku. Hihi


            Lupakan tentang anak kecil itu, aku harus mengatakan bahwa air mataku terlalu sering jatuh hari ini. Ketika memasuki rakaat kedua dalam shalat, mataku pedih mendengar Surah Al-Ghaasyiyah dikumandangkan Imam yang suaranya lebih menyentuh dari Imam shalat subuh tadi pagi. Aku selalu terenyuh ketika mendengar suaranya, maksudku bukan suara dalam berbicara sehari-hari yaa! Suara yang kumaksud adalah ketika dia menjadi Imam, dia adzan, dia bilal dalam shalat tarawih, bahkan sedang iqamah sekalipun. Aku tetap terenyuh.  Dan pagi tadi, dia berhasil membuatku menangis hingga bocah kecil di samping kananku mendongak melihat wajahku yang tersedu. Kebetulan, aku memang tidak hafal Surah itu, jadilah aku semakin tersentuh mendengarnya. Dan, ternyata Surah itu menceritakan tentang hari pembalasan. Bagaimana aku tidak semakin takut mati? Astagfirullah…  

Baiklah, aku lelah. Harus ku sudahi tulisan ini. Ini hanya sekedar cuap-cuap, semoga bermanfaat. Semoga amalan kita diterima oleh Allah swt. Selamat lebar-an. Selamat Herraya Semuaa!! (eh lupa, gara-gara bikin story ini kena unfol-_- sedih).





Rantauprapat, 22 Agustus 2018
10 Dzulhijjah 1439 H



Yuni Choirun Nisa Siregar

Komentar