Sahabat. . .
Perpisahan memang tidak dapat kita duga
Tapi yang perlu kamu tahu, hal terindah yang kau bawa pergi
Adalah . . .
Kita pernah bersama,
Dan menjadi yang terhebat
Begitu kata si Alvalo ketika Ale-nya pergi di 2016 lalu.
Sederhana, tapi dalam. Tenang, bait itu tidak sepenuhnya mewakili perasaanku.
***
Sekarang jam 7.56 AM di hari
Selasa 5 Juni 2018. Aku sedang menunggu jam 9. 15 AM untuk pergi menuju stasiun
dan pulang ke kampung halaman. Alhamdulillah, usai sudah bayang-bayang Semester
6 ini. Semester depan saya sudah PPL saudara, waktu cepat sekali berlalu.
Rasanya baru kemarin menjadi mahasiswa baru. Astagaaaa!
Baiklah, seperti biasa aku akan
memberi closing statement untuk
pengalaman satu semester perkuliahan. Mulai dari Senin pagi dengan
keprofesionalannya, hingga Jum’at dengan pengembangannya. Kali ini aku ingin membenarkan kalimat, “Flat cenderung ke bawah” seperti
katanya. Atau ada kamus baru yang dicetuskan Yola ketika mendapati aku, Yona,
dan dia bergabung dalam satu kelompok. Katanya, “Apalah, kita cuma kalangan
menengah ke bawah”. Ya, semacam itu. Tepatnya aku sudah lupa.
Benar, rasanya memang sedatar
itu. Bahkan condong menurun ke bawah. Perintah “Jalani saja!” seolah memang
selalu dilakukan. Let it flow! Nikmati saja! Nanti juga selesai! Dan
ya, setelah dijalani dengan rasa yang entah bagaimana akhirnya sampai juga pada
penutupan yang entah bagaimana pula. Kupikir ini akan menjadi perpisahan
sementara yang paling menyedihkan dibanding dengan semester-semester
sebelumnya. Karena semester depan pertemuan tidak bisa dipastikan selalu. Tapi
nyatanya, bahkan kalimat perpisahanpun tiada terucap. Jawabannya mungkin satu,
semua punya kesibukan masing-masing. Hal menye-menye semacam foto bersama,
bersalaman, berpelukan, atau apalah itu tidak terlalu penting bagi mereka.
Baiklah jika memang begitu adanya. Libur
ya libur, pisah ya pisah. Gak usah lebay, Yun!
***
Setelah tepat satu minggu aku
menunda melanjutkan tulisan ini, akhirnya semangat itu ada. Ya, sekarang aku
sedang duduk di teras rumah sambil memandangi langit biru beserta awan-awan
menggumpal yang sampai sekarang aku masih bingung mengidentifikasi jenis awan
apakah ia. Apakah awan sirus, stratus, kumulonimbus, atau sejenisnya. Entahlah.
. .
Closing
Statement, begitu kami biasa menyebutnya. Aku dan temanku itu. Setelah
16 pertemuan berlalu, aku sadar bahwa semua yang kami bicarakan hanyalah “halu”.
Hm! Tapi ah sudahlah, memastikan orang-orang disekitar masih bernafas sesuai dengan
semestinya saja itu sudah cukup. Sekalipun Ia tidak tersenyum, yang terpenting
adalah letak mata dan hidungnya masih pada tempatnya. Itulah pekerjaan
sampingan kami. Mengamati manusia-manusia bumi ini.
Untuk kata “maaf” dan “terimakasih”,
kupersembahkan kepada mereka manusia pengisi semester enam. Kepada manusia bumi
yang mewarnai, menghantui, bahkan menyakiti. Baru kutahu bahwa, “maaf” harus
dikatakan detail dan jelas. Haruskan kutulis list kesalahanku kepada manusia-manusia itu? Kepada si A, maaf
akulah haters-mu di secreto.com itu. Kepada si B, akulah
yang sering tidak tahan untuk menceritaimu di belakang. Kepada si C, akulah
yang sering mengadu kepada yang lain tentang keburukanmu. Kepada si D, akulah
yang pernah merendahkanmu. Kepada si E, akulah yang pernah menyindirmu secara
halus. Hingga kepada si Z, akulah orang
yang selalu memujamu. Eh, kok jadi
Pemuja Rahasia-nya SO7? Hehe. Maaf untuk segala perkataan dan tindakan yang
terlanjur kejadian. Ketahuilah, terkadang aku menyesal.
Jika “maaf” harus sedetail itu,
kurasa “terimakasih” tak perlu. Cukup terimakasih selalu ada saja, yaa? Aku
tahu, telepati akan berempati mengenai itu.
Rantauprapat, 12 Juni
2018
2.57 PM (jam-jam kritis)
dipenghujung Ramadhan 1439
H
Yuni Choirun Nisa
Siregar
Komentar
Posting Komentar