Malam ini aku teringat sesuatu tentang tulisan seseorang yang kutemukan di instagram. Tulisan yang sempat viral beberapa hari belakangan ini tentang dunia "fangirling". Sejujurnya, tulisan itu tak sepenuhnya mewakili perasaanku, namun setidaknya dasar dari isi tulisan itu sama dengan apa yang sedang atau bahkan sering kulakukan.
"Apakah kamu pernah mencintai sesuatu tanpa alasan? Atau bahkan seseorang? Sebuah rasa yang sulit untuk didefinisikan oleh kata, dan hanya kamu sendiri yang mampu merasakannya. Masa dimana seluruh perhatianmu sesaat terpusat padanya, dan beberapa detik kemudian kamu merasa 'Aku menyukainya. Aku harus mengetahui segala tentang dirinya. Aku menyukai apapun yang berkaitan dengannya. Makanan favoritnya, negaranya, kebiasaannya, bahkan hal-hal terkecil tentang dirinya.' ". - @rifkhaauliafaz
Begitu katanya, ya aku pernah merasakan itu. Aku pernah melakukan itu. Aku pernah seantusias itu. Aku pernah se"gila" itu. Kepada apa? Kepada siapa? Jawabannya kepada manusia, yang kini kusadari aku merasa geli sendiri. Aku malu sendiri, malu kepada manusia disekitarku dan tentunya malu kepada Allah sebagai Tuhanku.
Aku menjadi fangirling sejak SD. Sejak aku menyukai ajang pencarian bakat menyanyi yang kontestannya adalah anak-anak unyu berusia sama sepertiku. Aku menyukai beberapa kontestan disana, yang ketika dia "keluar", aku menangis semalaman. Sampai pernah berkhayal bertemu dan terbawa mimpi. Waktu itu aku belum tahu internet, aku hanya mengandalkan TV untuk mencari tahu informasi tentang mereka yang kuanggap "idola" itu. Berjalannya waktu, aku sudah melewatkan tiga musim ajang pencarian bakat itu. Hingga pada akhirnya aku berhenti seiring tak kutemukan lagi wajah mereka di layar kaca.
Beranjak SMP, aku menemukan sosok baru. Masih dengan bakat bernyanyi, aku menemukan empat anak-anak yang menjadi salah satu boy band cilik terpopuler pada masanya. Dunia berkembang, bukan hanya TV yang kujadikan sebagai sumber informasi. Sosial media semakin membuatku "melek" dan tahu banyak tentang mereka. Mulai dari nama panjang, tanggal lahir, agama, hoby, alamat rumah, sekolah, ayah, ibu, saudara, teman-teman, bahkan sampai pada asisten rumah tangga mereka. Sehafal itu.
Sejak SMP, hingga kini aku sudah hampir lulus dari Universitas. Aku masih meng"idola"kan mereka, meski tak sefanatik dulu. Aku masih suka memantau perkembangan mereka, meski tak sesering dulu. Kurasa aku sudah letih menghabiskan waktu, tenaga, dan materi hanya untuk sesuatu yang berhubungan dengan mereka. Lambat laun kadar itu berkurang, karena hidup bukan hanya tentang mereka.
Jika biasanya aku selalu meng"idola"kan mereka yang hanya ada didalam layar kaca, maka kini berbeda. Lagi-lagi aku mendapat sosok baru. Seseorang yang nyata dihadapan mataku. Seseorang yang tak perlu kutunggu hadirnya di TV, karena jelas dia bukan artis. Dia manusia, yang kutunggu hadirnya disekitar gedung perkuliahan. Sekali lagi, dia nyata hadir di depan mata.
"Pernah tidak merasa bersemangat untuk hari-hari tertentu? Merasa hati tak menentu? Bahkan merasa senang jika bertemu. Saat itu kamupun bergumam dalam hatimu, 'Aku menyukainya, aku harus tahu segala sesuatu tentangnya. Aku harus mengingat segala pertemuanku dengannya. Dan aku harus mengabadikan semua kenanganku bersamanya.' " - @yuyun_sir
Begitulah aku, aku pernah merasakan itu. Aku pernah meliarkan imajinasiku dengan membayangkan hal-hal yang lebih "gila" dari yang kulakukan dulu. Aku pernah melakukan hal-hal diluar kesadaran yang wajar. Hanya untuk melihat, dan memastikan orang itu masih bernafas serta menghirup udara dengan paru-parunya. Setidaknya aku lega dan merasa bahagia dengan itu.
Tak hanya itu, aku juga pernah merasa malu ketika terlihat bodoh dihadapannya. Aku pernah merasa semua tulisan yang kubuat hanya didedikasikan untuknya. Hingga aku merasa, semua yang kulakukan hanyalah sebuah kesia-siaan. Menyukai sosok nyata lebih hebat rasanya, dia ada di depan mata namun raga tak bisa menyapa. Kata tak bisa terucap, hanya senyum getir yang bisa samar dilihat.
Membicarakan sosoknya takkan ada habisnya. Akan ada saja sesuatu yang bisa dibahas mengenai dirinya. Entah itu pendidikannya, pakaiannya, harum parfumnya, bahkan hingga tempat-tempat yang sering Ia kunjungi. Memang, sebanyak itu. Namun dengan keterbatasan ruang dan waktu, aku ingin menghentikannya usai disini. Aku ingin berhenti, entah untuk sejenak atau bahkan benar-benar berhenti. Meski dia membawa dampak positif untuk menemani masa perkuliahanku, hal itu membuat harapanku terlalu besar padanya. Hingga aku lupa, dia masih dan akan tetap manusia biasa. Karena berharap pada manusia hanya membuahkan sakit. Selayaknya, hanya kepada Allah lah manusia berharap.
"Dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap." Al-Insyirah : 8
Medan, 26 Mei 2018 // 10 Ramadhan 1439 H
Yuni Choirun Nisa Siregar
Komentar
Posting Komentar