Untuk Diriku

Bisa terbayang tidak, hampir setiap hari aku meluangkan waktu untuk menulis dan berpikir. Berpikir tentang lelucon untuk menertawakan diri sendiri. Sial sekali!

Dua tahun sudah terlewati, sekarang sudah bertemu dengan pertemuan delapan lagi. Itu artinya, delapan  pertemuan kedepan akan pula terlewati. Lalu apa yang sudah didapati? Setiap Selasa jantungku berdetak hebat jika aku melihat manusia-manusia pejuang sarjana yang sedang seminar proposal. Bagaimana tidak? Aku suka membayangkan wajahku beku begitu dihadapan penguji yang maunya sangat bervariasi. Sungguh aku belum bisa membayangkan kejadian macam apa yang akan menimpa. Bahkan dia (dibaca: Kak Uti) yang akan seminar minggu depan, malah aku yang deg-degan mati-matian. Seminarku masih tahun depan (Insha Allah), tapi dari sekarang sudah kepikiran. Wajar tidak?

Benar, dua tahun sudah terlewati jadi izinkan aku untuk merefleksi diri. 


Untuk diriku, masih ingatkah kali pertama kau memulai hari di Senin itu? Dengan Praktikum Kimia Umum I di pukul 9.40  WIB, kemudian berlanjut dengan mata kuliah lain di setiap harinya. Masih ingatkah dimana tempat-tempat kau menghabiskan waktu makan siangmu? Atau, masih ingatkah kau siapa teman kelompokmu waktu itu? Ingatkah bagaimana caranya berkenalan dengan teman-teman sekelasmu? Dengan teman-teman yang ternyata sudah dua tahun lebih bersamamu.

Waktu begitu cepat berlalu, semua berputar seolah tak ada hentinya. Begitu terus, berulang-ulang. 

Memasuki semester II, keadaan sedikit berubah  kau mendapati satu hari libur di luar Sabtu Minggu. Apakah itu menyenangkan? Jelas. Keadaan juga sedikit berbeda, kau mendapati tugas yang semakin rumit, mendapati dirimu ternyata hanya segumit. Tapi kau bangkit, hanya karena berkesan dengan seseorang yang menyiratkan pesan. Siapa dia? Orang itu sudah jarang berkeliaran disekitarmu. Apakah kau masih ingat, dia pernah mengatakan begini. 
"Cobalah untuk keluar dari zona nyaman!" 

Satu kalimat itu mampu membangkitkan semangat, tapi sayang hanya untuk sesaat. Kau kembali tergoda dengan nyamannya kampung halaman ketika kau dituntut untuk aktif menghidupkan satu acara waktu itu. Dan akhirnya apa? Kalimat itu tidak jadi terealisasi.

Akhir dari perkuliahan semester II itu nyatanya memang mampu menjatuh-bangunkan perasaan. Untung saja, sejatuh apapun itu kau masih bisa bangkit dan berdiri sendiri. Tanpa uluran tangan orang lain di sekitarmu. Bersyukurlah, karena kau berharap hanya kepada Tuhanmu.

Kemudian itu, masuklah kau kepada dunia per-fisika-an yang sesungguhnya. Semester III menjadi salah satu masa-masa terberat dalam perkuliahan. Mengapa? Kau harus menerima usikan dan bisikan aneh masuk mengganggu pikiran serta alat inderamu. Seninmu dimulai dengan Praktikum Fisika Modern, lalu dilanjutkan dengan Fisika Sekolah yang menghabiskan waktumu selama 200 menit. Apa kau tidak bosan menikmati waktu selama itu? Bosan, kau sangat bosan waktu itu. Kelopak matamu sering naik turun dan berair menahan kantuk. Untung saja Selasa kau bisa bernapas lega karena jurusan meliburkan jadwal perkuliahanmu. Tapi kau harus  ingat, meski libur kau sering menapaki kampus di hari Selasa karena harus menyelesaikan tugas-tugas yang sudah mulai berbau kritikan terhadap buku dan jurnal. Belum lagi kau mulai disuruh untuk membuat projek untuk pertanggungjawaban di akhir perkuliahan itu. Astaga, apakah kau melupakannya?

Kau harus ingat, semester III itu sangat berwarna. Rabumu sering kala kelabu, tapi Kamismu datang mengubahnya menjadi manis. Tak jarang Jumatpun terkadang membuat semangat. Lagi, bersyukurlah sudah merasakan nikmatnya hari-hari itu. Tak ada yang harus disesali sekalipun kau pernah tidak menyukai. Semua pertemuan itu ada tujuannya, dan ada pula alasan yang melatarbelakanginya.

Jika sebelumnya Rabumu sering kala kelabu, semester IV mengubahnya sedikit lebih menggebu. Kau sangat menikmati delapan pertemuan pertama waktu itu. Kau harus ingat bagaimana kau dengan sungguhnya mempelajari turunan rumus interferensi pada lapisan tipis. Hingga pada hari dimana kau harus mempresentasikannya, jantungmu berpacu dengan cepat. Kau takut saja waktu itu memalukan diri sendiri. Mengapa? Karena sehari sebelum itu pipimu sudah cukup merona akibat tingkahmu yang tidak terkendali.

Jadi bukan tentang harinya, tapi tentang siapa pengisinya. Seperti Kamismu dahulu, Kamis menangis  di semester IV. Sampai sekarang kau mungkin masih merasakan sakit jika mengingat hari-hari perkuliahan dan nilai di DPNA yang tertera. Tapi kau harus yakin, semua sudah ada yang mengatur. Jangan terus mendongak ke atas, lelah juga. Cobalah merunduk ke bawah, dan mulai bangga dengan diri sendiri. Sudahlah, maafkan, maafkan, maafkan, lalu mungkin lupakan. Lupakan yang membuatmu sakit, namun kenanglah yang membuatm bangkit. Seperti penguatan yang diberi di setiap Jumat di semester IV kala itu. Kau harus ingat betapa hebatnya perjuanganmu dalam menunggui laboratorium hingga malam menjemput. Kau harus ingat betapa berharganya kenangan itu.
 

Sebelumnya kau tak pernah terpikirkan dampak hebat yang terjadi setelah itu. Kau harus melalui Senin di semester V berbeda dengan teman-temanmu. Hey, waktu itu kau sangat sedih dan terpuruk! Tapi apa? Sekarang kau baik-baik saja, karena semua ada waktunya. Jangan pernah takut, Allah selalu bersamamu. Nyatanya dibalik itu kau menikmati Seninmu. Seninmu yang hampir setiap minggunya selalu nyenengin. Iyakan? Kau bahagia bertemu Senin. Seketika sudut bibirmu terangkat jika mengingat kejadian di hari Senin. Bahkan yang terparah, kau mencatat setiap kejadian yang terjadi. Mengapa? Apa yang kau suka dari Senin itu? Tentang filsafatnya, atau tentang strateginya?  Mohon jangan lupakan dunia antariksa yang belum sempat kau sentuh sebelumnya.

Senin bagimu memiliki makna tersendiri, itu hanya karena satu manusia. Manusia realistis di tengah masyarakat abstrak. Siapa? Ya, manusia yang semacam itu. Manusia yang tak bisa lagi kau deskripsikan dengan aksara yang selalu kau banggakan. Manusia yang tak bisa kau jamah lagi dengan imajinasi liarmu itu. Mungkin waktunya sudah tiba, maka daripada itu berhentilah. Ribuan untaian kata yang kau rangkai takkan pernah tertangkap oleh retina matanya. Berhentilah, kau sudah lelah. Apa guna kau menyisihkan uang sakumu untuk membeli es krim? Untuk membeli cokelat? Bukankah kau ingin meningkatkan kadar hormon serotoninmu? Senyummu boleh merekah, tapi tidak untuk disaksikan orang lain. Tangismu boleh pecah, tapi juga tidak untuk dilihat orang lain.

Untuk diriku, jadilah manusia yang pantang menyerah. Alur hidup manusia berbeda-beda, kau tak harus mengikuti jalan mereka. Cari jalanmu sendiri, telusuri, hingga kau sampai pada tujuan yang kau cari. Tentang hari-harimu ke depan, jalani saja! Semua akan berakhir jika waktunya sudah tiba.  Berserahlah hanya kepada Sang Pencipta. Kaulah bibit unggul dari sekian juta sel yang menjadi sainganmu kala itu. Berjanjilah untuk tetap tegak berdiri!














Medan, 28 Maret 2018
12.12 AM
yang tersayang, diri sendiri



Komentar